Sebut Terorisme Seperti Gunung Es, BNPT dan FKPT DIY Gandeng Masyarakat Cegah Bersama
FKPT DIY-Yogyakarta. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berkolaborasi bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY menggelar kegiatan bertajuk Kenduri Untuk Wujudkan Desa Siaga Dengan Resiliensi di Pendopo Djowinatan, Rabu (28/8/2024). Kedua instansi tersebut mengajak masyarakat Jogja untuk aktif melakukan pencegahan paham radikal dan terorisme yang masih eksis saat ini.
Dewo Isnu Broto, Perwakilan FKPT DIY, mengatakan saat ini arus informasi bergerak begitu cepat yang mana menjadi tantangan dalam menangani radikalisme dan terorisme. Bagaimana kelompok terorisme menurut Dewo diuntungkan dengan adanya internet, baik untuk rekrutmen bahkan menyebarkan propaganda paham yang diusung.
“Media sosial memungkinkan paham-paham tersebut tersebar luas. Ada kerentanan cukup tinggi, harapannya kita bersama melakukan pengawasan agar generasi muda yang mayoritas mengakses sosial media tak dijebak dalam persoalan radikalisme atau terorisme. Ruang-ruang di media sosial, di pengajian-pengajian juga pilah pilih agar tak terjebak dalam lingkaran radikalisme. Kita di DIY ingin membantu mencegah kegiatan radikalisme,” ungkap Dewo.
Sementara, Catur Iman Pratignyo, S.E., QIA., CFrA, Inspektur BNPT, mengatakan saat ini kelompok-kelompok radikal terorisme masih ada dan melakukan kegiatan. Catur mengibaratkan mereka dengan gunung es, yang tampak kecil ai permukaan namun begitu besar di bawah air.
“Kita harus memberikan penyadaran pada semua pihak. Kalau 2023 kemarin tidak ada teror, bukan berarti tidak ada apa-apa. Aparat penegak hukum tetap bergerak untuk menangkal. Ini seperti gunung es, terlihat kecil di atas air tapi di bawah begitu besar bongkahannya. Penegak hukum melakukan pekerjaannya tapi masyarakat sangat penting untuk melakukan pencegahan. Kita mewujudkan hak untuk semua bisa aman dan nyaman serta hidup sejahtera,” lanjutnya.
Catur juga mengungkap bahwa terorisme tak terkait agama tertentu, namun sering kali menggunakan agama sebagai alat. Di Indonesia misalnya ia menyebut terduga pelaku yang tertangkap selalu agama Islam, karena mayoritas masyarakatnya Islam. Di negara lain seperti New Zealand misalnya, pelaku yang ditangkap beragama Kristen atau Katolik, karena mayoritas masyarakatnya menganut agama tersebut.
“Jadi terorisme tak kenal agama, tapi paham yang mereka bawa. Terorisme bisa merusak stabilitas negara, bagaimana dulu bom Bali yang membuat wisatawan asing tak boleh ke Indonesia. Ini membuat negara kita lumpuh bertahun-tahun. Terorisme menjadi kejahatan perdamaian umat manusia di dunia. Tak peduli suku, agama, ras dan golongan. Inilah yang harus kita cegah bersama, tentu mengedepankan kedamaian,” lanjutnya.
Di depan puluhan warga DIY, Catur juga menceritakan bagaimana seluruh elemen bergerak bersama untuk mencegah terjadinya aksi teror. Salah satunya penangkapan pekerja kereta api yang sudah terafiliasi kelompok terorisme.
“Ada cerita anak muda PT KAI, bertugas menggeser sinyal. Dia terekrut untuk berbuat teror, ya karena melihat konten dari sosial media. Kalau dia dengan sengaja mengarahkan kereta agar tabrakan, dampaknya sangat fatal. Untung cepat terendus keberadaannya dan ditangkap sebelum melakukan aksi,” tandasnya.
Catur pun berharap masyarakat mulai dari Penopo Djowinatan bergerak bersama dengan berpegang pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika juga NKRI. “Kita tidak boleh lelah, karena kelompok-kelompok teroris ini juga terus bergerak terutama masuk ke jejaring online,” pungkasnya.